Bersama Menanamkan Akhlakul karimah

Bersama Menanamkan Akhlakul karimah

MA Miftahul Ulum Puntir Purwosari Pasuruan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

MA Miftahul Ulum Puntir Juara I Lomba Mapel IPS Se-Kabupaten Pasuruan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

MA Miftahul Ulum Puntir Purwosari Pasuruan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

MA Miftahul Ulum Puntir Purwosari Pasuruan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

MA Miftahul Ulum Puntir Purwosari Pasuruan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 16 Februari 2012

Wawasan Kebangsaan Dalam Qur’an


Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat

 

KEBANGSAAN

“Kebangsaan” terbentuk dari kata “bangsa” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai “kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa dansejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.” Sedangkan kebangsaan diartikan sebagai “ciri-ciri yang menandai golongan bangsa.”
Para pakar berbeda pendapat tentang unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai bangsa. Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri yang mutlak harus terpenuhi guna terwujudnya sebuah bangsa atau kebangsaan. Hal ini merupakan kesulitan tersendiri di dalam upaya memahami pandangan Al-Quran tentang paham kebangsaan.
Di sisi lain, paham kebangsaan –pada dasarnya– belum dikenal pada masa turunnya Al-Quran. Paham ini baru muncul dan berkembang di Eropa sejak akhir abad ke-18, dan dari sana menyebar ke seluruh dunia Islam.
Memang, keterikatan kepada tanah tumpah darah, adat istiadat leluhur, serta penguasa setempat telah menghiasi jiwa umat manusia sejak dahulu kala, tetapi paham kebangsaan (nasionalisme) dengan pengertiannya yang lumrah dewasa ini baru dikenal pada akhir abad ke-18.
Yang pertama kali memperkenalkan paham kebangsaan kepada umat Islam adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas, seperti telah diketahui, setelah Revolusi 1789, Perancis menjadi salah satu negara besar yang berusaha melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan salah satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir itu beragama Islam, tetapi mereka berasal dari keturunan orang-orang Turki. Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam maklumatnya, Napoleon memperkenalkan istilah Al-Ummat Al-Mishriyah, sehingga ketika itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini telah amat dikenal, yaitu Al-Ummah Al-Islamiyah. Al-Ummah Al-Mishriyah dipahami dalam arti bangsa Mesir. Pada perkembangan selanjutnya lahirlah ummah lain, atau bangsa-bangsa lain.

MENEMUKAN WAWASAN KEBANGSAAN DALAM AL-QURAN

Untuk memahami wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan, salah satu pertanyaan yang dapat muncul adalah, “Kata apakah yang sebenarnya dipergunakan oleh kitab suci itu untuk menunjukkan konsep bangsa atau kebangsaan? Apakah sya’b, qaum, atau ummah?”

Kata qaum dan qaumiyah sering dipahami dengan arti bangsa dan kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang Arab dewasa ini dengan istilah Al-Qaumiyah Al’Arabiyah. Sebelumnya, Pusat Bahasa Arab Mesir pada 1960, dalam buku Mu’jam Al-Wasith menerjemahkan “bangsa” dengan kata ummah.

Kata sya’b juga diterjemahkan sebagai “bangsa” seperti ditemukan dalam terjemahan Al-Quran yang disusun oleh Departemen Agama RI, yaitu ketika menafsirkan surat Al-Hujurat (49): 13.
Apakah untuk memahami wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan perlu merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata-kata tersebut, sebagaimana ditempuh oleh sebagian orang selama ini? Misalnya, dengan menunjukkan Al-Quran surat Al-Hujurat (49): 13 yang bisa diterjemahkan:
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telahi menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Apakah dari ayat ini, nampak bahwa Islam mendukung paham kebangsaan karena Allah telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa?
Mestikah untuk mendukung atau menolak paham kebangsaan, kata qaum yang ditemukan dalam Al-Quran sebanyak 322 kali itu ditoleh? Dapatkah dikatakan bahwa pengulangan yang sedemikian banyak, merupakan bukti bahwa Al-Quran mendukung paham kebangasaan? Bukankah para Nabi menyeru masyarakatnya dengan, “Ya Qaumi” (Wahai kaumku/bangsaku), walaupun mereka tidak beriman kepada ajarannya? (Perhatikan misalnya Al-Quran surat Hud (11): 63, 64, 78, 84, dan lain-lain!).
Di sisi lain, dapatkah dibenarkan pandangan sebagian orang yang bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan, dengan menyatakan bahwa Allah Swt. dalam Al-Quran memerintahkan Nabi Saw. untuk menyeru masyarakat tidak dengan kata qaumi, tetapi, “Ya ayyuhan nas” (wahai seluruh manusia), serta menyeru kepada masyarakat yang mengikutinya dengan “Ya ayyuhal ladzina ‘amanu?” Benarkah dalam Al-Quran tidak ditemukan bahwa Nabi Muhammad SAW. menggunakan kata qaum untuk menunjuk kepada masyarakatnya, seperti yang ditulis sebagian orang?
[Pernyataan terakhir ini dapat dipastikan tidak benar, karena dalam Al-Quran surat Al-Furqan (25): 30 secara tegas dinyatakan, bahwa Rasulullah saw. mengeluh kepada Allah, dengan mengatakan,
"Sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang tidak diacuhkan."
Hemat penulis untuk menemukan wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan, tidak cukup sekadar menoleh kepada kata-kata tersebut yang digunakan oleh Al-Quran, karena pengertian semantiknya dapat berbeda dengan pengertian yang dikandung oleh kata bangsa atau kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan dalam Al-Quran misalnya, masih digunakan dewasa ini, meskipun maknanya sekarang telah berubah menjadi mobil. Makna ini tentunya berbeda dengan maksud Al-Quran ketika menceritakan ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. yang membuangnya ke dalam sumur dengan harapan dipungut oleh sayyarah yakni kafilah atau rombongan musafir. (Baca QS Yusuf 10).
Kata qaum misalnya, pada mulanya terambil dari kata qiyam yang berarti "berdiri atau bangkit". Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu. Karena itu, kata ini pada awalnya hanya digunakan untuk lelaki, bukan perempuan seperti dalam firman Allah:
Janganlah satu qaum (kumpulan lelaki) mengejek qaum (kumpulan lelaki) yang lain. Jangan pula (kumpulan perempuan) mengejek (kumpulan) perempuan yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diejek) lebih baik daripada mereka (yang mengejek) (QS Al-Hujurat [49]: 11).
Kata sya’b, yang hanya sekali ditemukan dalam Al-Quran, itu pun berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua makna, cabang dan rumpun. Pakar bahasa Abu ‘Ubaidah –seperti dikutip oleh At-Tabarsi dalam tafsirnya– memahami kata sya’b dengan arti kelompok non-Arab, sama dengan qabilah untuk suku-suku Arab.
Betapapun, kedua kata yang disebutkan tadi, dan kata-kata lainnya, tidak menunjukkan arti bangsa sebagaimana yang dimaksud pada istilah masa kini.
Hal yang dikemukakan ini, tidak lantas menjadikan surat Al-Hujurat yang diajukan tertolak sebagai argumentasi pandangan kebangsaan yang direstui Al-Quran. Hanya saja, cara pembuktiannya tidak sekadar menyatakan bahwa kata sya’b sama dengan bangsa atau kebangsaan.

 

APAKAH YANG DIMAKSUD PAHAM KEBANGSAAN?

Sungguh banyak pendapat yang berbeda satu dengan yang lain. Demikian pula dengan pertanyaan yang muncul disertai jawaban yang beragam, misalnya:
  • Apakah mutlak adanya kebangsaan, kesamaan asal keturunan, atau bahasa?
  • Apakah yang dimaksud dengan keturunan dan bahasa?
  • Apakah kebangsaan merupakan persamaan ras, emosi, sejarah, dan cita-cita meraih masa depan?
  • Unsur-unsur apakah yang mendukung terciptanya kebangsaan?
Dan masih ada sekian banyak pertanyaan lain. Sehingga mungkin benar pula pendapat yang menyatakan bahwa paham kebangsaan adalah sesuatu yang bersifat abstrak, tidak dapat disentuh; bagaikan listrik, hanya diketahui gejala dan bukti keberadaannya, namun bukan unsur-unsurnya.
Pertanyaan yang antara lain ingin dimunculkan adalah “Apakah unsur-unsur tersebut dapat diterima, didukung, atau bahkan inklusif di dalam ajaran Al-Quran? Dapatkah Al-Quran menerima wadah yang menghimpun keseluruhan unsur tersebut tanpa mempertimbangkan kesatuan agama? Berikut ini akan dijekaskan beberapa konsep yang mendasari paham kebangsaan.
1.      Kesatuan/Persatuan
Tidak dapat disangkal bahwa Al-Quran memerintahkan persatuan dan kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula Kitab suci ini menyatakan bahwa “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu” (QS Al-Anbiya’ [2l]: 92, dan Al-Mu’minun [23]: 52).
Pertanyaan yang dapat saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah:
a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan?
b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya persatuan/kesatuan yang diikat oleh unsur-unsur yang disebutkan di atas, yakni persamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah? Yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan Al-Quran terhadap kata ummat. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Quran, dengan makna yang berbeda-beda. Ar-Raghib Al-Isfahani –pakar bahasa yang menyusun kamus Al-Quran Al-Mufradat fi Ghanb Al-Quran– menjelaskan bahwa ummat adalah “kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat, baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.” Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan binatang pun demikian.
Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang dibumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, kecuali umat-umat seperti kamu … (QS Al-An’am [6]: 38)”
Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran. Ada yang berpendapat minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi Al-Quran pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh banyak orang. Nabi Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh Al-Quran surat An-Nahl (16): 20 karena alasan itu.
Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS An-Nahl [16]: 120)”
Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam Al-Quran sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk suatu persatuan. Yang membatasi hanyalah bahasa, yang tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal.
Di sisi lain, dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah (Kesatuan/ penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/ 1988 M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan.
Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu’) ajarannya. Artinya, kitab suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan.
Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam Al-Quran surat Al-Ma-idah (5): 48:
Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja)”.
Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina’ limtina’, atau dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan.
Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan.
Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing.
“Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada mereka …” (QS Ali ‘Imran [3]: 105).
Kalimat “dan berselisih” digandengkan dengan “berkelompok” untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan.
Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa.
Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Quran dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat.
Dengan demikian, terjawablah pertanyaan pertama itu yakni Al-Quran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan –yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah– hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.

2.      Asal Keturunan
Tanpa mempersoalkan perbedaan makna dan pandangan para pakar tentang kemutlakan unsur “persamaan keturunan”, dalam hal kebangsaan, atau melihat kenyataan bahwa tiada satu bangsa yang hidup pada masa kini yang semua anggota masyarakatnya berasal dari keturunan yang sama, tanpa mempersoalkan itu semua dapat ditegaskan bahwa salah satu tujuan kehadiran agama adalah memelihara keturunan. Syariat perkawinan dengan syarat dan rukun-rukunnya, siapa yang boleh dan tidak boleh dikawini dan sebagainya, merupakan salah satu cara Al-Quran untuk memelihara keturunan.
Al-Quran menegaskan bahwa Allah Swt. menciptakan manusia dari satu keturunan dan bersuku-suku (demikian juga rumpun dan ras manusia), agar mereka saling mengenal potensi masing-masing dan memanfaatkannya semaksimal mungkin.
Ini berarti bahwa Al-Quran merestui pengelompokan berdasarkan keturunan, selama tidak menimbulkan perpecahan, bahkan mendukungnya demi mencapai kemaslahatan bersama.
Dari beberapa ayat Al-Quran, dapat ditarik pembenaran hal ini, atau paling tidak “tiada penolakan” terhadapnya. Misalnya dalam Al-Quran surat Al-A’raf (7): 160:
Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masing menjadi umat, dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka memancarlah darinya dua belas mata air…”
Rasul Muhammad SAW. sendiri pernah diperintahkan oleh Al-Quran surat Asy Syu’ara’ ayat 214 agar memberi peringatan kepada kerabat dekatnya. Hal itu menunjukkan bahwa penggabungan diri ke dalam satu wadah kekerabatan dapat disetujui oleh Al-Quran, apalagi menggabungkan diri pada wadah yang lebih besar semacam kebangsaan.
Piagam Madinah (Kitabun Nabi) yang diprakarsai oleh Rasulullah SAW. ketika beliau baru tiba di Madinah yang berisi ketentuan/kesepakatan yang mengikat masyarakat Madinah justru mengelompokkan anggotanya pada suku-suku tertentu, dan masing-masing dinamai ummat. Kemudian, mereka yang berbeda agama itu bersepakat menjalin persatuan ketika membela kota Madinah dari serangan musuh.
Nabi Luth a.s. sebagaimana dikemukakan Al-Quran, mengeluh karena kaum atau bangsanya tidak menerima dakwahnya. Ia mengeluh sambil berkata:
Seandainya aku mempunyai kekuatan denganmu, atau kalau aku dapat berlindung niscaya aku lakukan“(QS Hud [11]:80).
Yang dimaksud dengan “kekuatan” adalah pembela dan pembantu,yang dimaksud dengan perlindungan adalah keluarga dan anggota masyarakat atau bangsa.
Rasulullah SAW. sendiri dalam perjuangan di Makkah, justru mendapat pembelaan dari keluarga besar beliau, baik yang percaya maupun yang tidak. Dan ketika terjadi pemboikotan dari penduduk Makkah, mereka memboikot Nabi dan keluarga besar Bani Hasyim. Abu Thalib yang bukan anggota masyarakat Muslim ketika itu dengan tegas berkata, “Demi Allah’ kami tidak akan menyerahkannya (Nabi Muhammad SAW) sampai yang terakhir dari kami gugur.”
Sejalan dengan kenyataan di atas Nabi SAW. pernah khutbah dengan menyatakan:
“Sebaik-baik kamu adalah pembela keluarga besarnya selama (pembelaannya) bukan dosa” (HR Abu Daud melalui sahabat Suraqah bin Malik).
Hanya saja pengelompokan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, apalagi menimbulkan sikap superioritas, dan pelecehan. Rasulullah SAW. Mengistilahkan hal itu dengan al-’ashabiyah.
Bukanlah dari kelompok kita yang mengajak kepada ‘ashabiyyah, bukan juga yang berperang atas dasar ‘ashabiyah, bukan juga yang mati dengan keadaan (mendukung) ‘ashabiyyah” (HR Abu Daud dari sahabat Jubair bin Muth’im).
Rasulullah Saw. mempergunakan ungkapan yang populer di kalangan orang-orang Arab sebelum Islam, “Unshur akhaka zhalim(an) au mazhlum(an)” yang artinya, “Belalah saudaramu yang menganiaya atau dianiaya)”, sambil menjelaskan bahwa pembelaan terhadap orang yang melakukan penganisyaan adalah dengan mencegahnya melakukan penganiayaan (HR Bukhari melalui Anas bin Malik).
Walaupun Al-Quran mengakui adanya kelompok suku, namun Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan sifat dapat digabungkan ke dalam satu wadah. Iblis yang dalam Al-Quran surat Al-Kahf (18): 50 dinyatakan dari jenis jin. Sesungguhnya ia (Iblis) adalah dari jenis Jin, dimasukkan Allah dalam kelompok malaikat yang diperintahkan sujud kepada Adam. Karena, ketika itu, Iblis begitu taat beragama, tidak kalah dari ketaatan para malaikat. Itu sebabnya walaupun yang diperintah untuk sujud kepada Adam adalah para malaikat (QS Al-A’raf [7]: 11) tetapi Iblis yang dari kelompok jin yang telah bergabung dengan malaikat itu termasuk diperintah, karenanya ketika enggan ia dikecam dan dikutuk Tuhan.
Dalam konteks paham kebangsaan, Rasulullah SAW. Memasukkan sahabatnya Salman, Suhaib, dan Bilal yang masing-masing berasal dari Persia, Romawi, dan Habasyah (Etiopia) ke dalam kelompok orang Arab.
Ibnu ‘Asakir dalam tarikhnya meriwayatkan, ketika sebagian sahabat meremehkan ketiga orang tersebut, Nabi Saw. bersabda:
Kearaban yang melekat dalam diri kalian bukan disebabkan karena ayah dan tidak pula karena ibu, tetapi karena bahasa, sehingga siapapun yang berbahasa Arab, dia adalah orang Arab”.
Bahkan Salman Al-Farisi dinyatakan Nabi sebagai “minna Ahl Al-Bait” (dari kelompok kita [Ahl Al-Bait]), karena beliau begitu dekat secara pribadi kepada Nabi dan keluarganya, serta memiliki pandangan hidup yang sama dengan Ahl Al-Bait.
Keterikatan kepada asal keturunan sama sekali tidak terhalangi oleh agama, bahkan inklusif di dalam ajarannya. Bukankah Al-Quran dalam surat Al-Ahzab ayat 5 memerintahkan untuk memelihara keturunan dan memerintahkan untuk menyebut nama seseorang bergandengan dengan nama orang tuanya?
Panggillah mereka (anak-anak angkat) dengan (menggandengkan namanya dengan nama) bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah (QS Al-Ahzab [33]: 5).

3.      Bahasa
Al-Quran menegaskan dalam surat Al-Rum (30):
Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, adalah penciptaan langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu, dan warna kulitmu …
Al-Quran demikian menghargai bahasa dan keragamannya, bahkan mengakui penggunaan bahasa lisan yang beragam.
Perlu ditandaskan bahwa dalam konteks pembicaraan tentang paham kebangsaan, Al-Quran amat menghargai bahasa, sampai-sampai seperti yang disabdakan Nabi SAW,
“Al-Quran diturunkan dalam tujuh bahasa” (HR Muslim,At-Tirmidzi, dan Ahmad dengan riwayat yang berbeda-beda tetapi dengan makna yang sama).
Pengertian “tujuh bahasa” antara lain adalah, tujuh dialek. Menurut sekian keterangan, ayat-ayat Al-Quran diturunkan dengan dialek suku Quraisy, tetapi dialek ini –ketika Al-Quran turun– belum populer untuk seluruh anggota masyarakat. Sehingga apabila ada yang mengeluh tentang sulitnya pengucapan atau pengertian makna kata yang digunakan oleh ayat tertentu, Allah menurunkan wahyu lagi yang berbeda
kata-katanya agar menjadi mudah dibaca dan dimengerti. Sebagai contoh dalam Al-Quran surat Al-Dukhan (44): 43-44 yang berbunyi, “Inna syajarat al-zaqqum tha’amul atsim“, pernah diturunkan dengan mengganti kata atsim dengan fajir, kemudian turun lagi dengan kata al-laim. Setelah bahasa suku Quraisy populer di kalangan seluruh masyarakat, maka atas inisiatif Utsman bin Affan (khalifah ketiga) bacaan disatukan kembali sebagaimana tercantum dalam mushaf yang dibaca dewasa ini.
Pengertian lain dari hadis tersebut adalah Al-Quran menggunakan kosa kata dari tujuh (baca: banyak) bahasa,seperti bahasa Romawi, Persia, dan Ibrani, misalnya kata-kata: zamharir, sijjil, qirthas, kafur, dan lain-lain.
Untuk menghargai perbedaan bahasa dan dialek, Nabi SAW. Tidak jarang menggunakan dialek mitra bicaranya. Semua itu menunjukkan betapa Al-Quran dan Nabi SAW. sangat menghargai keragaman bahasa dan dialek. Bukankah seperti yang dikemukakan tadi, Allah menjadikan keragaman itu bukti keesaan dan kemahakuasaan-Nya?
Nah, bagaimana kaitan bahasa dan kebangsaan? Tadi telah dikemukakan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir berkaitan dengan Salman, Bilal, dan Suhaib. Pada hakikatnya, bahasa memang bukan digunakan sekadar untuk menyampaikan tujuan pembicaraan dan yang diucapkan oleh lidah. Bukankah sering seseorang berbicara dengan dirinya sendiri? Bukankah ada pula yang berpikir dengan suara keras. Kalimat-kalimat yang dipikirkan dan didendangkan itu merupakan upaya menyatakan pikiran dan perasaan seseorang? Di sini bahasa merupakan jembatan penyalur perasaan dan pikiran.
Karena itu pula kesatuan bahasa mendukung kesatuan pikiran. Masyarakat yang memelihara bahasanya dapat memelihara identitasnya, sekaligus menjadi bukti keberadaannya. Itulah sebabnya mengapa para penjajah sering berusaha menghapus bahasa anak negeri yang dijajahnya dengan bahasa sang penjajah.
Al-Quran menuntut setiap pembicara agar hanya mengucapkan hal yang diyakini, dirasakan, serta sesuai dengan kenyataan. Karena itu, tidak jarang Kitab Suci ini menggunakan kata qala atau yaqulu (dia berkata, dalam arti meyakini), seperti misalnya dalam surat Al-Baqarah (2): 116:
Mereka berkata, “Allah mengambil anak“. Mahasuci Allah, dengan arti mereka meyakini bahwa Allah mempunyai anak.
Salah satu sifat Ibadur Rahman (hamba-hamba Allah yang baik) yang dijelaskan dalam surat Al-Furqan (25): 65 adalah:
Mereka yang berkata, Jauhkanlah siksa jahanam dari kami. Sesungguhnya azab-Nya adalah kebinasaan yang kekal
Ucapan ini bukan sekadar dengan lidah atau permohonan, melainkan peringatan sikap, keyakinan dan perasaan mereka, karena kalau sekadar permohonan, apalah keistimewaannya? Bukankah semua orang dapat bermohon seperti itu? Karena itu tidak menyimpang jika dinyatakan bahwa bahasa pada hakikatnya berfungsi menyatakan perasaan pikiran, keyakinan, dan sikap pengucapnya.
Dalam konteks paham kebangsaan, bahasa pikiran, dan perasaan, jauh lebih penting ketimbang bahasa lisan, sekalipun bukan berarti mengabaikan bahasa lisan, karena sekali lagi ditekankan bahwa bahasa lisan adalah jembatan perasaan.
Orang-orang Yahudi yang bahasanya satu, yaitu bahasa Ibrani, dikecam oleh Al-Quran dalam surat Al-Hasyr ayat 14, dengan menyatakan:
Engkau menduga mereka bersatu, padahal hati mereka berkeping-keping
Atas dasar semua itu, terlihat bahwa bahasa, saat dijadikan sebagai perekat dan unsur kesatuan umat, dapat diakui oleh Al-Quran, bahkan inklusif dalam ajarannya. Bahasa dan keragamannya merupakan salah satu bukti keesaan dan kebesaran Allah. Hanya saja harus diperhatikan bahwa dari bahasa harus lahir kesatuan pikiran dan perasaan, bukan sekadar alat menyampaikan informasi.

4.      Adat Istiadat
Pikiran dan perasaan satu kelompok/umat tercermin antara lain dalam adat istiadatnya.
Dalam konteks ini, kita dapat merujuk perintah Al-Quran antara lain:
Hendaklah ada sekelompok di antara kamu yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar” (QS Ali ‘Imran [3]: 104)
Jadilah engkau pemaaf; titahkanlah yang ‘urf (adat kebiasaan yang baik), dan berpalinglah dari orang yang jahil (QS Al-A’raf [7]: 199).
Kata ‘urf dan ma’ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada kebiasaan dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam.
Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Apabila rincian maupun penjabaran itu tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai ‘urf/ma’ruf.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah mengawinkan seorang gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar (penduduk kota Madinah). Nabi yang tidak mendengar nyanyian pada acara itu, berkata kepada Aisyah, “Apakah tidak ada permainan/nyanyian? Karena orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian ...” Demikian,Nabi SAW. menghargai adat-kebiasaan masyarakat Anshar.
Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-adat muhakkimah). Demikian ketentuan yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian banyak rincian argumentasi keagamaan.

5.      Sejarah
Agaknya, persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan karena unsur ini merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan, pikiran, dan langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting, karena umat, bangsa, dan kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa lalu, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah, untuk melangkah ke masa depan. Sejarah yang gemilang dari suatu kelompok akan dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya, demikian pula sebaliknya.
Al-Quran sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah. Bahkan tujuan utama dari uraian sejarahnya adalah guna mengambil i’tibar (pelajaran), guna menentukan langkah berikutnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa unsur kesejarahan sejalan dengan ajaran Al-Quran. Sehingga kalau unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya paham kebangsaan, hal ini inklusif di dalam ajaran Al-Quran, selama uraian kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan

6.      Cinta Tanah Air
Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan oleh patriotisme dan cinta tanah air.
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, bahkan inklusif di dalam ajaran Al-Quran dan praktek Nabi Muhammad Saw.
Hal ini bukan sekadar dibuktikan melalui ungkapan populer yang dinilai oleh sebagian orang sebagai hadis Nabi SAW., Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta tanah air adalah bagian dari iman), melainkan justru dibuktikan dalam praktek Nabi Muhammad SAW.,baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
Ketika Rasulullah SAW. berhijrah ke Madinah, beliau shalat menghadap ke Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam belas bulan, rupanya Beliau rindu kepada Makkah dan Ka’bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab. Begitu tulis Al-Qasimi dalam tafsirnya. Wajah Beliau berbolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat diarahkan ke Makkah, maka Allah merestui keinginan ini dengan
menurunkan firman-Nya:
Sungguh Kami (senang) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram…” (QS Al-Baqarah [2]: 144).
Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke kota Makkah beliau berucap:
Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya”.
Sahabat-sahabat Nabi SAW. pun demikian, sampai-sampai Nabi SAW. bermohon kepada Allah:
Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami, sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih (HR Bukhari, Malik dan Ahmad).
Memang, cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, dan karena itu pula Nabi Saw. menjadikan salah satu tolok ukur kebahagiaan adalah “diperolehnya rezeki dari tanah tumpah darah”. Sungguh benar ungkapan, “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih senang di negeri sendiri.”
Bahkan Rasulullah SAW. mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta, dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan Al-Quran menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam firman-Nya:
Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9)”.

***
Dari uraian di atas terlihat bahwa paham kebangsaan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah.
Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran Al-Quran, sehingga seorang Muslim yang baik pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota suatu bangsa terdiri dari beragam agama, atau anggota masyarakat terdiri dari berbagai bangsa, hendaknya mereka dapat menghayati firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 148:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang ditujunya), dia menghadap ke arah itu. Maka berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”.

Selasa, 14 Februari 2012

Keutamaan Ilmu dan Ahlinya


Segala puji untuk Allah Rabb seru sekalian alam, segala akibat baik akan didapatkan oleh orang-orang yang bertakwa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada hamba dan utusan-Nya serta makhluk terbaik pilihan-Nya di antara semua makhluk, orang kepercayaan pengemban wahyu-Nya, seorang Nabi, pemimpin dan tuan kita Muhammad bin Abdillah. Begitu pula semoga pujian dan keselamatan itu terlimpah kepada keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan semua pengikut yang menempuh jalannya serta mengambil petunjuk dengan petunjuknya hingga datangnya hari kiamat. Amma ba’du.

Berikut ini untaian kalimat yang ringkas tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan ahlinya. Sesungguhnya dalil-dalil syari’at dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan dengan jelas tentang keutamaan ilmu dan bertafaqquh (mendalami) ilmu agama, dan juga keutamaan lain berupa kebaikan yang sangat agung dan pahala yang sangat besar, sebutan yang indah, dan akibat yang terpuji bagi orang yang dibersihkan niatnya oleh Allah dan mendapatkan anugerah taufik dari-Nya..
Dalil dari Al-Qur’an
Dalil-dalil yang menyinggung hal ini sangat banyak dan sudah banyak diketahui orang. Cukuplah untuk menunjukkan kemuliaan ilmu dan ahlinya yaitu Allah ‘azza wa jalla telah menjadikan mereka sebagai salah satu saksi dalam hal keesaan-Nya, dan juga Allah mengabarkan  bahwa mereka itulah orang-orang yang benar-benar memiliki rasa takut kepada Allah.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Allah mempersaksikan bahwasanya tidak ada sesembahan yang hak selain Dia, begitu juga para malaikat mempersaksikan yang demikian itu, begitu pula ahli ilmu, demi menegakkan keadilan, tidak ada sesembahan yang hak selain Dia Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Ali Imran [3]: 18)
Di dalam ayat ini Allah menjadikan persaksian malaikat dan ahli ilmu untuk turut mempersaksikan keesaan-Nya Yang Maha suci. Yang dimaksud dengan ahli ilmu ialah orang-orang yang memiliki ilmu tentang Allah, orang-orang yang memahami agama-Nya dan mempunyai rasa takut kepada-Nya Yang Maha suci dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya, selalu mematuhi aturan dan batasan yang digariskan-Nya.
Hal itu sebagaimana tercantum dalam firman Allah ‘azza wa jalla yang artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir [35] : 28).
Dan telah diketahui pula bahwasanya setiap muslim pasti memiliki rasa takut kepada Allah, setiap mukmin juga pasti merasa takut kepada Allah. Akan tetapi rasa takut yang sempurna hanya dimiliki oleh para ahli ilmu, dan pemuka tertinggi mereka ialah para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam kemudian diikuti oleh orang-orang sesudah mereka yaitu para ulama sesuai dengan tingkatan mereka masing-masing.
Para ulama, mereka itulah pewaris para Nabi. Rasa takut kepada Allah adalah benar adanya. Sedangkan rasa takut yang sempurna hanya ada pada diri ahli ilmu yang mengenal Allah dan memiliki bukti-bukti kuat tentang keesaan-Nya, mengetahui kesempurnaan Nama-nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan menyadari betapa agung hak yang dimiliki-Nya yang Maha suci lagi Maha tinggi. Dan para Rasul dan Nabi ‘alaihimush shalatu was salam adalah orang-orang terdepan di antara mereka, kemudian diikuti sesudahnya oleh ahli ilmu dengan berbagai macam tingkatan pemahaman mereka dalam ilmu tentang Allah dan agama-Nya. Sudah sepantasnya bagi setiap alim dan penuntut ilmu untuk senantiasa memperhatikan perkara ini dan merasa takut kepada Allah di mana pun dia berada serta berusaha untuk terus mendekatkan dirinya kepada Allah dalam semua urusannya, baik ketika menuntut ilmu, ketika mengamalkan ilmu, menyebarkan ilmu, dan dalam setiap aspek kewajiban terhadap Allah dan kewajiban yang menjadi hak hamba yang harus ditunaikan olehnya.
Dalil dari As Sunnah
Terdapat sebuah hadits dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahihain dari hadits Mu’awiyahradhiyallahu ‘anhu bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.”
Hadits yang agung ini memiliki banyak hadits pendukung dari sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ini menunjukkan bahwasanya salah satu ciri kebaikan dan tanda kebahagiaan ialah seorang hamba diberikan kepahaman dalam hal agama Allah.
Setiap penuntut ilmu yang ikhlas di perguruan tinggi manapun atau di ma’had ‘Ilmi manapun, atau di tempat yang lainnya hendaknya menjadikan pemahaman seperti inilah yang dicari dan diinginkannya. Oleh sebab itu kita memohon kepada Allah agar mereka mendapatkan taufik dan hidayah untuk menggapainya dan tercapai tujuan yang dicita-citakannya.
Dan barangsiapa yang justru berpaling dari mempelajari ilmu agama maka itu merupakan salah satu ciri bahwa Allah menghendaki buruk pada dirinya, laa haula wa laa quwwata illa billah.
Perumpamaan Ilmu dan Hidayah yang Dibawa Nabi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam Shahihain dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya perumpamaan wahyu yang diberikan Allah kepadaku yang mencakup petunjuk dan ilmu adalah seperti air hujan yang turun membasahi bumi. Sehingga ada di antara tanahnya yang bisa menerima air dengan baik dan bisa menumbuhkan berbagai macam rumput dan tanam-tanaman. Dan ada juga tanah yang keras dan hanya bisa menampung air saja sehingga dengan perantaranya Allah memberikan kemanfaatan bagi orang-orang. Mereka bisa minum, memberikan minum pada ternak serta menyirami tanah pertanian. Akan tetapi, ada juga tanah yang keras dan licin sehingga tidak bisa menampung air dan juga tidak bisa menumbuhkan rumput-rumputan. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham dalam agama Allah serta memberikan manfaat bagi orang lain dengan ilmu yang diturunkan Allah kepadaku, dia berilmu dan juga mengajarkan ilmunya, serta perumpamaan orang yang sama sekali tidak mau memperhatikan ilmu tersebut serta tidak mau menerima petunjuk Allah yang Allah mengutusku dengan membawanya.”
Maka para ulama yang mendapatkan taufik untuk mengemban ilmu ini terbagi ke dalam dua tingkatan:
Tingkatan Pertama
Orang-orang yang meraih ilmu, mengamalkannya,  mendalaminya, dan bisa menarik berbagai kesimpulan hukum darinya. Mereka terlahir menjadi para Hafizh (penghafal hadits) dan Fuqaha (ahli fikih). Mereka menyampaikan ilmu dan mengajarkannya kepada orang-orang, dan mereka bisa memahamkan orang lain, memberikan pencerahan dan faedah kepada mereka. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagaimu’allim (pengajar) dan ada yang menjadi muqri’ (pembaca), serta ada juga yang menjadi da’i ilallah ‘azza wa jalla atau menjadi mudarris (guru) yang mengajarkan ilmu dan profesi-profesi lainnya yang merupakan bentuk-bentuk pengajaran dan penularan pemahaman.
Tingkatan Kedua
Orang-orang yang mampu menghafalkan ilmu dan menyampaikannya kepada para ulama lain yang sudah dibukakan pemahaman ilmu baginya sehingga mereka bisa menarik berbagai kesimpulan hukum dari berita yang didapatkannya.
Maka dengan begitu kedua kelompok ini sama-sama memperoleh pahala dan ganjaran yang sangat besar dan melimpah serta bisa memberikan manfaat luas kepada umat.
Adapun kebanyakan orang yang ada, perumpamaan mereka itu ialah seperti tanah yang keras dan licin sehingga tidak bisa menampung air dan tidak mampu menumbuhkan rerumputan. Hal itu terjadi disebabkan mereka sengaja berpaling, lalai serta tidak mau menaruh perhatian terhadap ilmu.
Oleh sebab itu maka para ulama dan penuntut ilmu yang aktif dalam berbagai aktifitas penyebaran ilmu syar’i memiliki kebaikan yang sangat banyak serta berada di atas jalan yang lurus. Segala puji bagi Allah untuk itu. Dan itu hanya berlaku bagi orang yang mendapatkan taufik dari Allah sehingga bisa mengikhlaskan niat dan bersungguh-sungguh dalam belajar.
Maka berdatanganlah para penuntut ilmu syar’i secara beramai-ramai untuk mendalami agama Allah dan berjuang untuk bisa meraih pencerahan dalam memahami ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang meliputi petunjuk dan ilmu pengetahuan. Dan hendaknya mereka saling berlomba untuk menuntutnya.
Dan juga hendaknya mereka bersabar dalam meniti jalan tersebut, karena mereka harus merasakan keletihan dan menghadapi berbagai kesulitan. Hal ini dikarenakan sesungguhnya ilmu itu tidak akan bisa digapai apabila dicari dengan tubuh yang selalu bersantai-santai. Akan tetapi dibutuhkan kesungguh-sungguhan, kesabaran, dan kemauan untuk menanggung rasa letih.
Inilah yang diucapkan oleh Imam Muslim rahimahullah di dalam kitab Shahih beliau dalam bab-bab tentangMawaqit (Waktu-Waktu Shalat) yang terdapat di dalam Kitab Shalat. Ketika beliau membawakan sekian banyak sanad, di antara riwayat yang beliau sebutkan adalah perkataan Yahya bin Abi Katsir rahimahullah. Yahya mengatakan, “Ilmu tidak akan bisa diraih dengan banyak mengistirahatkan badan.” Maksud beliaurahimahullah dengan ungkapan ini ialah sebagai catatan yang harus diingat bahwasanya untuk menggali ilmu dan mendalami agama itu sangat diperlukan kesabaran dan keteguhan.
Selain itu diperlukan perhatian, pemeliharaan waktu, dan harus senantiasa diiringi dengan keikhlasan dalam beramal karena Allah dan menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu maka keberadaan berbagai kegiatan daurah ilmiah yang di dalamnya diajarkan ilmu syar’i dan juga keberadaan masjid-masjid yang di sana diadakan berbagai halaqah ilmiyah syar’iyah memiliki peranan yang sangat penting. Faedah yang bisa digali darinya juga amat besar. Karena sarana-sarana seperti itu memang dipersiapkan untuk menyebarkan kemanfaatan bagi orang banyak dan bisa menguraikan berbagai macam kesulitan yang mereka hadapi. Orang-orang yang telah mengikuti kegiatan-kegiatan seperti itu sangat diharapkan meraih kebaikan dan pelajaran yang banyak serta manfaat yang bisa disebarluaskan.
Tidaklah seyogyanya bagi orang yang sudah diberikan anugerah berupa ilmu oleh Allah kemudian dia justru memisahkan diri dari upaya untuk menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada umat manusia dan tidak ikut berusaha menanamkan pemahaman agama (yang benar) kepada mereka atau mengingatkan mereka tentang Allah, hak-Nya serta hak hamba-hamba-Nya.
Dia bisa saja menempuh cara mengajar, atau pengambilan keputusan di dalam peradilan (apabila dia adalah seorang hakim, pent), atau dengan memberikan nasihat dan peringatan, atau sekedar saling mengingat-ingat isi pelajaran bersama sahabat dan saudara-saudaranya pada saat terjadi pertemuan-pertemuan yang bersifat umum maupun yang khusus.
Peranan Para Ulama Dalam Menyebarkan Ilmu
Demikian pula, sudah semestinya bagi para ulama untuk turut bergabung dalam upaya menyebarkan ilmu melalui berbagai media informasi yang tersedia, karena dengan cara itu faedah yang didapatkan sangatlah besar, dan ilmu yang disampaikan akan bisa menjangkau segala penjuru bumi sejauh yang dikehendaki oleh Allah.
Kebaikan sangat besar yang dicapai dengan menempuh metode semacam itu sudah sangat diketahui. Begitu pula dengan cara demikian maka kaum muslimin yang bisa merasakan manfaatnya semakin bertambah luas. Terlebih lagi pada masa sekarang ini, kebutuhan akan hal itu adalah sangat mendesak, bahkan di sepanjang masa hal itu selalu diperlukan. Hanya saja pada masa kita sekarang ini kebutuhan tersebut semakin memuncak karena begitu sedikitnya ilmu yang tersebar dan betapa banyaknya ajakan yang ditebarkan oleh para penyeru kebatilan.
Oleh sebab itulah sudah menjadi kewajiban bagi para ulama yang telah mendapatkan rezeki ilmu dari Allah untuk berani mengambil risiko dan menanggung beban kesulitan untuk berupaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat kepada orang banyak melalui media-media tersebut.
Mereka bisa ikut andil dalam upaya ini dengan bentuk pengambilan keputusan (dalam mahkamah/pengadilan), memberikan pelajaran, mendakwahkan agama Allah ‘azza wa jalla maupun cara lainnya yang menyangkut urusan-urusan kaum muslimin. Sehingga akan tercapailah manfaat yang begitu besar dan buah yang sangat agung sebagai hasil dari upaya ini.
Peranan Penuntut Ilmu Dalam Dakwah
Seorang penuntut ilmu pun hendaknya menuntut ilmu dalam rangka memberikan manfaat bagi dirinya, untuk menyingkirkan kebodohannya serta dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalladengan amalan yang diridhai-Nya dengan didasari keterangan dan pemahaman yang baik. Dengan menuntut ilmu dia juga bisa berpartisipasi dalam menyebarkan manfaat bagi orang banyak. Yaitu untuk mengeluarkan mereka dari berbagai macam kegelapan menuju cahaya.
Selain itu, dengan ilmunya itu maka apa yang diputuskannya akan bisa menyelesaikan berbagai kesulitan yang dihadapi oleh mereka. Dia akan mampu melakukan perbaikan di antara mereka. Dia akan sanggup mengajari orang yang belum tahu di antara mereka. Dia pun akan bisa ikut serta membimbing orang-orang yang tersesat di antara mereka. Dia akan bisa  memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar kepada mereka, dan manfaat-manfaat lainnya.
Sehingga peranan penuntut ilmu itu bisa merambah ke dalam medan yang sangat banyak, tidak terbatas pada masalah-masalah tertentu saja. Apalagi bagi seseorang yang berkedudukan sebagai qadhi atau hakim.
Karena seorang qadhi yang sanggup bersabar dengan taufik dari Allah niscaya dia akan bisa terjun untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Apabila bersama dengan penuntut ilmu maka dia juga bisa berperan di sana. Apabila diserahi profesi peradilan ia juga bisa berperan di sana. Dia akan bersama dengan para pengajar. Dia akan bersama para pengajak kepada yang ma’ruf dan pencegah yang mungkar. Dia akan bersama dengan para da’i ilallah ‘azza wa jalla atau bersama para pelaku perbaikan dan urusan-urusan kaum muslimin yang lainnya.
Oleh karena itu seorang penuntut ilmu harus mempersiapkan diri untuk mengurusi amanah yang dibebankan kepadanya dan dia harus siap menanggung berbagai kesulitan di dalam membela agama Allah. Hendaknya dia bercita-cita tinggi. Sebagaimana dahulu para Salafush Shalih yang mendahului kita -semoga Allah merahmati mereka semua- berusaha sekuat tenaga untuk bisa menyebarkan manfaat kepada umat manusia.
Wasiatku kepada ulama dan para penuntut ilmu serta untuk setiap muslim dan muslimah ialah agar mereka bersabar dalam menjalani hal ini.
Hendaknya mereka terus berupaya bersungguh-sungguh dalam meniti jalan kebenaran. Hendaknya mereka pandai memanfaatkan waktu yang ada. Dan supaya mereka memperbanyak kegiatan dalam rangka saling mengingat ilmu di antara mereka untuk mendiskusikan persoalan-persoalan yang terasa sulit bagi sebagian mereka. Sehingga dengan demikian akan terkumpullah berbagai  pengetahuan yang akan membuahkan kebaikan bagi mereka dan insya Allah juga bagi kaum muslimin. Hendaknya hal itu juga disertai dengan semangat penuh untuk memperbaiki niat dan ikhlas dalam mengerjakan segala macam amal untuk mendekatkan diri hamba kepada Rabbnya, dan bersemangat dalam segala hal yang bisa mendatangkan kemanfaatan untuk orang banyak.
Di antara perkara yang bisa mendatangkan manfaat bagi orang banyak dan bisa menjadi jalan keluar berbagai persoalan dan menjadi sebab tersebarnya keadilan ialah mengembalikan urusan kepada ahli ilmu dan pemilik bashirah yang memiliki kedalaman rasa takut kepada Allah Yang Maha suci dalam menyelesaikan sengketa peradilan yang terjadi di antara manusia serta untuk mengajarkan ilmu kepada mereka.
Dan sudah termasuk hal yang diketahui bahwasanya fungsi peradilan (yang beliau maksud adalah peradilan atau mahkamah syari’at, pent) adalah tergolong amal yang akan mendatangkan pelipatgandaan pahala dari Allah dan meninggikan derajat bagi orang-orang yang dikaruniai keikhlasan niat oleh Allah dan juga bagi mereka yang mendapatkan anugerah ilmu yang bermanfaat serta bermaksud baik bagi kepentingan kaum muslimin.
Meskipun kedudukan tersebut memang cukup mengandung risiko dan para Salafush Shalih kita senantiasa merasa enggan untuk mendudukinya serta merasa khawatir apabila mendapatkannya. Akan tetapi kondisi masyarakat berubah-ubah, begitu pula pergiliran waktu tidaklah seragam.
Pada masa seperti ini umat manusia sangat membutuhkan orang yang benar-benar alim dan bisa memutuskan urusan di antara orang-orang dengan landasan ilmu yang kuat serta senantiasa memiliki rasa takut kepada Allah dan berusaha untuk mendekatkan diri kepada-Nya dalam rangka menemukan solusi untuk permasalahan-permasalahan mereka.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Site Search